Oleh: Muhammad Syafii Kudo*
Lambang Garuda Pancasila ( ilustrasi foto: kemendagri )
INDONESIA,
HIDAYATULLAHJABAR.COM
- - Di dalam dalam buku 1001 Soal Kehidupan, ada sebuah persoalan yang
ditanyakan kepada Buya Hamka perihal makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertanyaan
itu berbunyi, “Menurut sila pertama Pancasila, sebagai dasar negara kita
disebut “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apakah Esa di sini dalam arti menurut ajaran
(keyakinan) ajaran Islam atau juga menurut ajaran Kristen, atau Hindu Bali?
Dan
Buya Hamka menjawabnya dengan lugas bahwa Pancasila adalah kebijakan yang telah
mapan di negara kita. Pancasila juga merupakan implementasi dari Piagam
Jakarta. Piagam Jakarta sendiri jelas
merupakan kesepakatan yang telah dibuat oleh wakil-wakil golongan Nasionalis,
Islam, Kristen, untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Ketuhanan
Yang Maha Esa,” terlihat dalam segi manapun lebih dekat dengan pendirian kita
umat Islam Indonesia jika dibandingkan dengan agama lain, baik Kristen atau
Hindu Bali. Kita tidak mengakui ada tuhan selain Allah Ta'ala.
Esa
berarti Tunggal,’ atau ‘Satu’, agama kitalah yang mengakui kesatuan itu dengan
mutlak. Dirumuskan dengan ucapan;
لا اله الا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، يحي و يميت وهو على كل شيء قدير
“Tiada
Tuhan selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan, dan bagi-Nya
segala puji, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
قل هو الله أحد، الله الصمد، لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفوًا أحد
“Katakanlah
(Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Esa. Allah-lah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak
dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada yang menyamai-Nya.” (al-Ikhlas: 1-4).
Asalkan
kita umat Islam sadar akan pendirian Tauhid kita dan sadar pula akan lebih
banyaknya bilangan kita, maka dengan
menjunjung tinggi Pancasila yang memiliki sila pertama dan utama ‘Ketuhanan
Yang Maha Esa’, kita lah yang akan lebih banyak dapat bergerak luas memajukan agama kita di Negara Republik
Indonesia ini.
Namun
jika kita bermalas-malasan, berpecah-belah, maka “Ketuhanan Yang Maha Esa” akan
tetap tertulis juga sebagai dasar negara, tetapi akan ditafsirkan oleh mereka
yang mempersekutukan Allah dengan yang lain sesuai dengan tafsirannya
masing-masing. (Buya Hamka, 1001 Soal Kehidupan, Gema Insani).
Ada
pernyataan menarik dalam jawaban sang penulis tafsir Al Azhar tersebut.
Menurutnya, umat Islam Indonesia jika sadar dengan pendirian tauhid mereka dan
mampu mengelola kuantitas mereka sebagai masyarakat mayoritas di negeri ini,
maka dengan menjunjung tinggi Pancasila yang berketuhanan yang maha esa, mereka
akan mampu memajukan Islam di negeri ini.
Namun
hal itu tidak akan pernah terjadi manakala umat Islam Indonesia
bermalas-malasan apalagi berpecah-belah di antara mereka. Dan apa yang terjadi
selanjutnya, sila pertama yang bernafaskan tauhid itu memang tetap akan
tertulis sebagai dasar negara namun dengan penafsiran golongan di luar Islam
baik itu orang agama lain, kelompok liberal, kaum komunis, aliran sesat dan
lain sebagainya.
Dan
disadari atau tidak hal itu sudah mulai terasa saat ini. Bagaimana kita bisa
melihat banyaknya narasi yang dibangun oleh para “tangan tersembunyi” untuk
membenturkan Islam dan Pancasila hari ini kian terasa.
Kita
tentu ingat ada pernyataan seorang tokoh sebuah lembaga yang ditugasi negara
sebagai “pengurus” Pancasila yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila
adalah agama. Dia juga pernah mengusulkan agar kalimat Assalamualaikum diganti
dengan salam Pancasila dalam pertemuan-pertemuan publik.
Di
dalam bukunya yang lain saat menyikapi pidato Presiden Soekarno yang saat itu
menyinggung masalah Pancasila, Hamka menyatakan:
“…saja
sama andjurkan dengan beliau (Soekarno), marilah kita kaum Muslimin berdjuang
dalam Urat Tunggangnja Pantja Sila, Sila Ketuhanan Jang Maha Esa sadja, ja’ni
dengan artinja jang penuh. Karena bilamana berdjuang dengan Sila Ketuhanan Jang
Maha Esa sadja, didjamin, akan terpeliharalah Sila Jang Empat lagi. Dan mana
tahu, entah suatu waktu dikurangi satu, misalnja kebangsaan. Atau dihilangkan
sama sekali, namun Ketuhanan Jang Maha Esa akan tetap dalam sadjanja, jang
meliputi segala matjamnja Sila.
Atau
mana tahu, karena mendalamnja Ketuhanan Jang Maha Esa itu, karena dia sadja
urat tunggang dari segenap Sila, entah tumbuh pula Sila-sila jang lain lagi.
Pantja Sila, Sapta Sila, Seribu Sila. Karena buatan manusia tidaklah tetap, dan
buatan Tuhan djugalah jang tetap.
Dan
mana tahu, entah datang lagi beberapa pertjobaan ke dalam Negara kita ini,
karena angin2nja telah tampak. Ada Sila jang gugur, ada Sila jang tergontjang,
ada urat jang tertjabut.
Pada
waktu itu hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut;
Ketuhanan Jang Maha Esa.
Manusia
datang, dan manusia pergi. Keadaan bertukar, dan keadaan berganti. Tjobaan
datang dan angin ribut pantjaroba. Sesudah angin ribut, sesudah selebat-lebat
hudjan turun, matahari akan tjerah kembali, serta alam kembali kepada
kemurniannja, dan satu tetaplah tinggal, jaitu, KETUHANAN JANG MAHA ESA”.
Dengan
dia kita rela menempuh hidup. Dengan dia sadja kita rela menempuh maut. Bahkan
tidak ada maut, hanjalah liqaak (bertemu dengan Allah). Sedjauh-djauh
perdjalanan, siapapun djua, namun kepadanja djuga akan kembali, akan pulang,
kepada dia sadja, lain tidak.
“Ketuhanan Jang Maha Esa! sumber hakiki dari segala Sila dan Kesusilaan”.
Suatu
kenjataan, adalah bahwa Agama Islam dipeluk oleh golongan jang terbesar dari
bangsa Indonesia. Pengaruh Agama Islam telah berurat berakar pada Kebudajaannja
dan Adat-Istiadatnja. Boleh dikatakan bahwa orang tidak mengenal tjorak lain di
Indonesia, ketjuali Islam.
PANTJASILA
sebagai Falsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnja dan dapat
terdjamin, sekiranja kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanja,
sehingga agama mendjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnja.
Tidaklah
ada suatu agama, dan tidaklah ada satu faham (ideologie), jang dapat mendjamin
kesuburan Pantjasila itu di Indonesia, melebihi Islam.
Pertama
karena didjamin oleh Kesatuan adjaran Islam itu sendiri. Kedua karena pemeluk
Islamlah jang terbesar di Indonesia. Dan pertjobaan mentjuri djalan air buat
mendjamin suburnja Pantjasila di Indonesia, adalah suatu Tahsisul ‘Umjaan;
laksana raba-rabaan orang buta, di malam gelap gulita.
Jang
dikandung bertjetjeran, jang dikedjar tidak dapat. Maka untuk mendjamin
PANTJASILA, marilah kita bangsa Indonesia jang mengakui Allah sebagai Tuhannja,
dan Muhammad sebagai Rasul bersama-sama meng hidupkan Agama Islam dalam
masjarakat kita.
Andjuran
kita ini sesuai dengan apa jang pernah diutjapkan oleh BUNG KARNO di dalam
pertemuan Pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952;
PANTJASILA
itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sedjak lahirnja Sarekat Islam
jang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto….. Dan kita tambahkan;
PANTJASILA
TELAH LAMA DIMI LIKI OLEH BANGSA INDONESIA, JAITU SEDJAK SERUAN ISLAM SAMPAI KE
INDONESIA DAN DITERIMA OLEH BANGSA INDONESIA. KITA TAK USAH KUATIR FALSAFAT
PANTJASILA AKAN TERGANGGU, SELAMA URAT TUNGGUNGNJA MASIH TETAP KITA PUPUK;
KETUHANAN JANG MAHA ESA.” (Buya HAMKA, Urat Tunggang PANTJASILA, Jakarta:
Pustaka Keluarga Djakarta, tahun 1951).
Tulisan
mantan ketua MUI pertama itu seolah-olah mendahului jamannya. Pasalnya Buya
Hamka menyatakan seandainya kelak (setelah zaman beliau) Pancasila akan dirubah
lagi entah dengan mengeliminasi beberapa pasalnya atau mungkin ditambah
sila-silanya maka tetap satu jua yang akan tetap tinggal yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa yang sudah berakar urat pada adat istiadat dan kebudayaan masyarakat
Indonesia.
Kalimat
Buya Hamka yang menyatakan, “Dan mana tahu, entah datang lagi beberapa
pertjobaan ke dalam Negara kita ini, karena angin2nja telah tampak. Ada Sila
jang gugur, ada Sila jang tergontjang, ada urat jang tertjabut. Pada waktu itu
hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut;
“Ketuhanan
Jang Maha Esa” adalah firasat seorang
ulama yang mampu “mengendus angin jahat” yang coba membelokkan Pancasila dari
jalurnya. Jika dii zaman Buya Hamka ada “fitnah” pada umat Islam berupa NASAKOM
maka di zaman ini ada percobaan memeras Pancasila menjadi satu sila saja yakni
Ekasila yang konon memiliki nilai utama berupa gotong-royong.
Belum
lagi ditambah fitnahan para pendengung bayaran yang selalu membuat narasi untuk
membenturkan antara Pancasila dan Islam.
Di
kalangan warga Nahdliyyin ada kisah masyhur mengenai Pancasila. Diriwayatkan
bahwa ada proses dialog yang intens di kalangan ulama dan tokoh NU sebelum menerima
Pancasila sebagai azas tunggal dalam berbangsa dan bernegara.
Dialog
tidak hanya dilakukan di forum-forum formal ilmiah akademik yang mengeksplorasi
argumen dan gagasan rasional, tetapi juga di forum non formal seperti
silaturrahim dan anjangsana serta forum mujahadah dan riyadhoh yang
mengeksplorasi aspek batiniah spiritual.
Salah
satu forum tabayyun dan dialog informal mengenai kajian terhadap azas tunggal
Pancasila pernah diceritakan oleh Gus
Amin Hamid Kajoran, putra Kyai Hamid Kajoran (alm) yang menjadi saksi sejarah
atas peristiwa tersebut.
Diceritakan
bahwa pada suatu hari ada beberapa kyai yang sowan kepada Kyai Hamid Kajoran
yakni adalah Kyai Ali Maksum Krapyak Yogyakarta; Kyai Mujib Ridwan Surabaya dan
Kyai Imron Hamzah Surabaya.
Ada
juga Kyai Fauzi Bandung yang disopiri
oleh Kyai Saeful Mujab, Yogyakarta. Kyai Ali Maksum adalah salah satu anggota
tim bentukan PBNU yang ditugasi untuk melakukan kajian mengenai azas tunggal
Pancasila. Tim ini diketuai Kyai Ahmad Shiddiq dengan anggota Kyai Mahrus Aly
Lirboyo, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Masykur Malang dan Kyai Ali
Maksum Krapyak.
Para
ulama tersebut menyampaikan kepada Kyai Hamid Kajoran bahwa ada upaya pemaksaan
dari pemerintahan Soeharto untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal.
Mendengar pernyataan ini Kyai Khamid langsung menjawab, “Lho, kok pemaksaan?
Pancasila itu kan milik kita, hasil ijtihad-nya para ulama dan kyai kita,
terutama Hadratusyeikh Kyai Hasyim Asy’ari. Lha, kalo sekarang mau dijadikan
azas tunggal ya Alhamdulillah. Itu artinya dikembalikan ke kita, kok malah kita
merasa dipaksa.”
Mendengar
jawaban kyai Hamid ini semua tertegun. Kemudian Kyai Ali bertanya, “Ini
tafsirnya bagaimana?”
Atas
pertanyaan ini kemudian Kyai Hamid menjelaskan mengenai sejarah dan tafsir
Pancasila menurut ulama NU. Dijelaskan bahwa Pancasila merupakan penjelmaan
(Sublimasi) ajaran Islam yang menggabungkan Syariat, Aqidah dan Tasawuf.
“Oleh
karenanya kita bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten
dan benar Insya Allah kita bisa menjadi Wali,” demikian Kyai Hamid menjelaskan.
Dua sila tersebut adalah sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Mengamalkan sila
Ketuhanan artinya kita memahami dan mengerti Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya,
perintah dan laranganNya. Sedangkan mengamalkan sila kemanusiaan artinya kita
harus “mengerti manusia”, “memanusiakan manusia” dan “merasa sebagai manusia”.
Dari
penggalan kisah ini terlihat bahwa Pancasila merupakan produk pemikiran
(ijtihad) dari para ulama Nusantara sebagai manifestasi atas ajaran dan
nilai-nilai Islam. Maka sudah sepatutnya bagi umat Islam menyadari itu semua
dan berupaya sekuat tenaga untuk mendudukkan Pancasila pada tempat semestinya
yang merupakan ideologi negara yang berurat tunjang pada sila pertama dan utama
yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Umat
Islam harus melawan semua narasi negatif dari para musuh Islam yang hendak
membenturkan Islam dan Pancasila dengan cara melakukan kontra narasi baik
melalui tulisan, unggahan di sosial media, ceramah dan khotbah di podium dan
mimbar.
Intinya
semua media yang bisa menyampaikan pesan kebenaran kepada khalayak harus
dimanfaatkan. Sebab inilah zaman perang opini dan pemikiran (Ghazwul Fikri).
Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan dan berpecah-belah dalam peperangan
pemikiran ini. Jadi mari bersama kita kembalikan Pancasila kepada nafas
utamanya yaitu Islam. Wallahu A’lam Bish Showab.[ ]
*Penulis
adalah Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Sumber:
hidayatullah.com
Red:
admin
Editor:
iman